Kiprah Lembaga Sensor Film (LSF) saat ini masih dianggap sangat penting untuk mengontrol tontonan yang layak untuk penonton. Namun LSF ini saat ini lebih sering dianggap sebagai pengekangan kreatifitas insan perfilman. Nah, untuk menanggapi anggapan ini, apa komentar para pelaku industri perfilman dan aktor-aktor tentang LSF?
Menurut Adi Surya Abdi yang merupakan produser dan sutradara film, peran LSF ini amat penting. "Saya melihat bahwa sensor itu dibuat pada awalnya untuk kepentingan kolonial Belanda. Kemudian pada masa orde baru juga adalah alat untuk membatasi hal-hal yang bisa melawan rezim tersebut. Dan itu yang masih berlanjut sampai sekarang," kata Adi saat ditemui Koran Jakarta di acara Diskusi Rancangan UU Lembaga Sensor Film di Gedung Depdiknas Jakarta, Kamis (7/3).
Lain lagi komentar Prof Dr Katjung Maridjan, PhD, PLT Dirjen Kebudayaan, yang mengatakan esensi yang menjadi dasar dari sensor itu harus dicari formula yang baru agar dapat memberi pencerahan untuk dunia perfilman Indonesia. "Menurut saya, ada dua titik ekstrim. Pertama, regulasi yang didasarkan pada pasar. Prinsipnya cuma satu; suplai dan demand. Dan yang kedua, pendekatan yang bertumpu pada negara.
Karena semua yang bertumpu pada kontrol negara selalu terkendala regulasi dan kepentingan dan ujung-ujungnya menghambat proses kreatifitas, Katjung Maridjan menawarkan alternatif pendekatan ke-3. "Yang ketiga yaitu bertumpu pada pendekatan budaya. Konteks kultural itu lebih penting," kata Katjung Maridjan saat ditemui di Depdiknas.
Namun menurut dia, kontrol itu tidak melulu harus dilakukan institusi LSF, tapi juga bisa dilakukan oleh pelaku insan film dan masyarakat. "Kita juga harus mendidik masyarakat, melakukan sensor sendiri dalam menonton film. Akibatnya pembatasan umur dalam menonton film kelak tidak perlu lagi," tambah dia.
Derry 4 Sekawan yang juga hadir saat itu menambahkan bahwa sensor film itu tetap perlu ada. Tapi dia tidak setuju dengan aspek pembatasan-pembatasan kreatifitas. "Karena seni itu tidak bisa dibatasi, kami sebagai pemain dan pelaku seni juga punya tuntutan moral untuk memberikan tontonan yang sesuai dengan tuntutan," papar dia. LSF penting, tapi tidak kemudian mengekang kreatifitas pelaku seni dan insan film, tegas dia.
"Saya pengennya sih (RUU ini) selesai dan solusinya bisa baik untuk semua, bukan hanya baik untuk satu pihak saja. Rancangan itu adalah turunan dan yang menjadi acuan adalah undang-undang. Disitu bukan hanya mutlak, tapi juga ada tafsiran-tafsirannya. Dan nanti akan ada tambahan-tambahan yang lebih baik," pungkasnya Katjung Maridjan. Smn/R-3